TOTEM DAN TABOO
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas ujian tengah semester
mata kuliah Perbandingan Agama
Dosen Pengampu: Imamul Huda M.Pd.I
Di susun oleh:
1.
Lutfi Isnan Romdloni 23010-15-0361
2.
Mega Rizki 23010-15-0357
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Di dunia
banyak kepercayaan yang berada didalam masyarakat kita, bahkan sudah ada dari
nenek moyang dan sampai sakarang masih dipercaya oleh sebagian orang, salah
satunya adalah Totem dan Tabu yang merupakan kepercayaan yang sudah diyakini
sebelum agama-agama seperti Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam dan agama
lainnya muncul.
Di Indonesia,
budaya untuk menjaga dan melestarikan Totem dan Totem masih terasa sangat
kental, khususnya untuk beberapa lapisan masyarakat atau suku tertentu. Salah
satu contoh nyata daerah dan masyarakat yang mayoritas penduduknya masih
meyakini dan melestarikan pemali adalah masyarakat Toraja. Praktek penggunaan
dan pengaruh Totem dan Tabu cukup kental terasa pada masyarakat di Kabupaten Toraja
Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Keyakinan masyarakat Toraja terhadap Totem dan
Tabu atau juga yang sering disebut dengan pamali diwujudkan dalam perilaku taat
dan tidak melanggar pemali yang diyakini dapat menghindarkan mereka dari
konsekuensi berupa penyakit, gagal panen, maupun kejadian-kejadian buruk
lainnya. Pandangan masyarakat mengenai pemali ialah sebuah ajaran yang
diturunkan atau diwariskan oleh leluhur, berisikan aturan-aturan etis dan ritus
serta simbol- simbol menghubungkan
manusia secara khas
dengan tatanan faktual,
baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam.
Meskipun
banyak dari masyarakat Toraja yang mengatakan bahwa pemali tidak berlaku lagi
seperti zaman dulu, karena sekarang orang telah memiliki kepercayaan kepada
Tuhan atau beragama, namun hingga kini tanpa mereka sadari mereka tetap
melakukannya. Salah satu bukti nyata penerapan pemali/ Totem dan Tabu dalam
kehidupan sehari-hari ditunjukkan oleh partisipan, yaitu dengan tidak melakukan
perbuatan ataupun mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang dianggap pantang.
Tindakan tersebut didasari sebuah keyakinan yang menjadi acuan mereka sampai
saat ini, bahwa ketaatan terhadap pemali khususnya jika mereka tidak
mengkonsumsi beberapa jenis daging yang dianggap pemali jika dicampur secara
bersamaan, dapat menghindarkan mereka dari jenis penyakit tertentu dan
kemalangan lainnya. Pola
hidup tersebut terus
berlangsung sampai saat ini, dan menjadi proses yang berkesinambungan
dari generasi ke generasi karena partisipan mewariskannya kepada anak dan cucu
mereka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Totem dan Tabu?
2.
Apa saja macam-macam Totem dan Tabu?
3.
Apa saja objek Totem dan Tabu?
4.
Apa saja aspek sosial dan ritual dalam Totem dan Tabu?
5.
Dimana saja penyebaran Totem dan Tabu?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian Totem dan Tabu.
2.
Mengetahui macam-macam Totem dan Tabu.
3.
Mengetahui objek Totem dan Tabu.
4.
Mengetahui aspek sosial dan ritual dalam Totem dan Tabu.
5.
Mengetahui dimana saja penyebaran Totem dan Tabu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Totem
dan Tabu
Kata “Totem”
berasal dari oToteman yang dalam bahasa dan dialek suku Ojibwa dari Amerika
Utara berarti kekerabatan dan kekeluargaan.[1] Kata ini sering dipakai
untuk mengungkapkan adanya suatu hubungan antara manusia dan binatang yang
bersifat kekeluargaan. Kata “Ote” itu sendiri mempunyai pengertian pertalian
keluarga dan kekerabatan antara saudara laki-laki maupun perempuan, hubungan
kelompok karena kelahiran atau pengangkatan kekeluargaan secara kolektif dan
hubungkan oleh tali persaudaraan, dimana membawa pengertian tidak dapat saling
mengawini.[2]
Totem adalah
binatang, tumbuhan, atau benda alam (atau representasi benda) yang berfungsi
sebagai lambang klan atau keluarga di antara suku atau tradisional. Totem
merupakan ikatan mistis atau ikatan ritual dalam kelompok. Dalam masyarakat
prasejarah, totem adalah simbol kunci agama dan kohesi sosial; Mereka juga alat
penting untuk transmisi budaya dan pendidikan. Totem sering menjadi dasar hukum
dan peraturan. Dalam masyarakat karanga, ini adalah pelanggaran kehidupan
budaya dan spiritual untuk berburu, membunuh atau melukai hewan atau tumbuhan
totem. Sikap ini telah dan menjadi dasar hukum dan peraturan lingkungan hidup
yang ada di masyarakat karanga. Totem sama sakralnya dengan masyarakat karanga
tradisional yang menggunakannya.[3]
Jadi totem
adalah ikatan ritual suatu kelompok, kekeluargaan dan kekerabatan yang
menggunakan binatang, tumbuhan atau benda alam yang berfungsi sebagai lambang
klan atau keluarga diantara suku tradisional.
Sedangkan Tabu atau taboo atau tapu adalah suatu kata yang berasal dari
polynesia ‘ta’ yang artinya tanda dan ‘pu’ yang artinya telah melampaui.[4] Tabu digunakan untuk
pengetian yang diterapkan pada adanya larangan-larangan tertentu, baik terhadap
orang, barang atau objek tertentu, binatang tertentu dan juga makanan tertentu,
karena akan menimbulkan ketakutan dan bahaya.
Sedangkan
menurut Farberow (dalam Evans,
Averi, dan Pederson, 1999), istilah
Tabu, berasal dari kata Polinesia, dia mengatakan bahwa dalam kata Tabu
terkandung makna yakni diperbolehkan dan dilarang, yang harus dan tidak boleh
dilakukan, dimana pengembangannya dilakukan oleh masyarakat untuk para
anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan sebagai motivasi
untuk meningkatkan tradisi,
sehingga dalam pemali/tabu terkandung konsep menjaga.
Pemali mempunyai dua makna yang berlawanan arah, pada satu sisi ia berarti
kudus dan suci, tetapi di sisi lain berarti aneh, berbahaya, terlarang, dan
kotor.[5]
Freud
mendefinisikan tabu sebagai 'memiliki makna, di satu sisi: suci (Heilig),
dikuduskan (geweiht), Di sisi lain: menakutkan (unheimlich),
berbahaya (gefährlich), dilarang (verboten), tidak suci (tidak
sadar) . Tabu mengekspresikan dirinya yang penting dalam larangan (verboten)
dan batasan (Einschränkungen).[6]
Siakp hati-hati
terhadap sesuatu yang mengandung mana, dalam istilah ilmiahnya disebut “tabu”.
Sesuatu yang tabu adalah hal-hal yang dilarang untuk dikerjakan. Sesuatu yang
dianggap tabu itu dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda
yang jamad (mati). Sebagai realisasi terhadap sesuatu yang dianggap tabu itu
diwujudkan dalam bentuk-bentuk upacara keagamaan yang berhubungan dengan mana
tersebut. Bentuk-bentuk upaca kagamaan yang berhubungan dengan mana ini ada
yang dilakukan secara massal dan ada yang dilakukan secara khusus.[7]
Sedangkan
menurut Kamal (2009) Tabu adalah larangan sosial yang kuat, yang berkaitan
dengan setiap area kegiatan manusia atau kebiasaan sosial yang dinyatakan
sebagai suci dan terlarang. Orang Mesir kuno percaya bahwa pemali ditanamkan
oleh dewa khususnya pada benda, tindakan, bangunan, dan bahkan individu. Mereka
meyakini bahwa hanya pencipta yaitu dewa sendiri atau raja yang dapat mengubah
pemali, sehingga bagi masyarakat Mesir kuno Tabu merupakan gabungan dari agama,
ritual larangan, dan penghindaran yang memengaruhi semua aspek kehidupan
mereka. [8]
Bagi Margaret Mead
(dalam Steiner, 1956) Tabu dapat didefiniskan sebagai sanksi negatif, siapa
yang melakukan pelanggaran maka hasilnya akan otomatis tanpa mediasi dengan
manusia. Wardhaugh (dalam Chu, 2009) mengatakan bahwa pemali/tabu ditetapkan
karena orang percaya bahwa ketidaksesuaian
akan mendatangkan konsekuensi
yang berbahaya bagi mereka, baik karena perilaku non-verbal
ataupun perilaku verbal, diakibatkan karena melanggar kode
moral masyarakat berdasarkan
keyakinan supranatural. Kewenangan dibalik larangan-larangan sering
dikaitkan dengan kekuatan supranatural dan bahaya yang melekat pada perilaku
itu sendiri, sehingga melanggar pemali dapat membawa sial baik itu untuk diri sendiri maupun bagi
keluarga.[9]
Selanjutnya
akan dijabarkan mengenai klasifikasi serta objek menurut beberapa tokoh. Kamal (2009)
mengklasifikasikan taboo dalam masyarakat Mesir kuno ke dalam dua bagian yaitu
pemali mengkonsumsi makanan tertentu diantaranya babi, ikan, dan madu.[10]
Jadi Tabu
adalah larangan sosial yang kuat, yang berkaitan dengan setiap area kegiatan
manusia atau kebiasaan sosial ditetapkan karena orang percaya bahwa
ketidaksesuaian akan mendatangkan konsekuensi yang berbahaya
bagi mereka, dimana pengembangannya dilakukan oleh masyarakat untuk para
anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan sebagai motivasi
untuk meningkatkan tradisi.
Di Indonesia terutama di Timor, terdapat Tabu yang diungkapkan dengan
‘pali’ atau ‘pamali’ yang biasanya diterapkan sebagai lawan dari adat kebiasaan
yang telah diwariskanoleh para leluhur.
B. Macam-macam Totem
dan Tabu
Totem dapat
dibedakan menjadi dua yaitu:[11]
a. Totemisme perseorangan, dimana seekor binatang
menjadi pelindung orang tertentu,
b. Totemisme golongan atau suku dimana jenis
binatang tertentu dianggap dekat hubungannya dengan suatu golongan atau suku
tetentu dan menjadi pelindung suku.
Tabu memiliki
macam-macam kelas, dalam pengertian luas dapat dibedakan dalam:[12]
1. Natural, alami dan langsung yaitu akibat dari
mana[13] atau karena suatu kekuatan misterius yang ada pada
seseorang maupun sesuatu benda.
2. Tidak alami dan tidak langsung, sebagaimana
natural akibat dari mana tetapi lebih ditekankan pada yang didapat atau
diperoleh atau diadakan, dibuat dan ditentukan oleh para pendeta atau kepala
suku, atau para shaman.
3. Yang bersifat perantara atau penengah, yaitu
menengahi natural dan tidak alami.
C. Objek Totem dan
Tabu
Terdapat banyak
sekali objek Tabu, diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:[14]
1. Tabu yang bersifat langsung yang ditunjukan
kepada :
a. Perlindungan terhadap orang-orang penting,
seperti : kepala suku, pendeta, shaman, dan benda-benda yang membahayakan.
b. Perlindungan keselamatan terhadap orang-orang
lemah terutama wanita dan anak-anak, juga orang kebanyakan pada umumnya, dari
pengaruh sihir mana yang ada pada orang-orang penting.
c. Perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang
datang terutama yang ada kaitannya dengan jenasah-jenasah yang perlu perawatan
sabaik-baiknya, dan juga terhadap makanan tertentu.
d. Menjaga amal perbuatan yang utama dalam
kehidupan ini seperti kelahiran, inisiasi, perkawinan dan fungsi seksual
terhadap hal-hal yang tidak sopan dan yang dianggap tidak semestinya.
e. Perlindungan keamanan manusia terhadap
kemurkaan roh-roh yang jahat.
2. Tabu yang diadakan agar supaya aman seseorang
ataupun sesuatu yang berkaitan dengan individu.
Dilihat dari jenis-jenis yang diTabukan, maka Tabu dapat dibagi dalam
binatang-binatang, orang-orang tertentu, dan benda-benda yang lain. Dan dari
ketiga hal tersebut, binatang nampaknya menjadi yang paling dominan, sehingga
dalam perkembangannya timbul larangan membunuh, memakan, dan mengambil darahnya
yang kemudian membentuk ide sebagai inti dari tetemisme.
Dari segi lain, pada masyarakat primitif animis Tabu ini banyak ditujukan
kepada:[15]
1. Terhadap musuh, dalam hal ini tidak dapat
dilepaskan dari larangan membunuh Totem baik binatang Totem itu sendiri maupun
orang-orang dalam kelompok Totem tersebut. Karena itu terdapat peraturan yang
erat dengan masalah adat, dimana peraturan tadi merupakan usaha untuk
perdamaian kembali dengan musuh.
2. Terhadap kepala suku atau kepala keagamaan.
Perilaku orang-orang primitif animis terhadap kepala suku, pendeta atau dukun
atau kepala keagamaan diatur oleh dua hal yang saling melengkapi, yang nampak
dalam aturan tentang Tabu.
3. Terhadap hal-hal yang erat hubungannya dengan
inisiasi kehidupan, Banyak sekali Tabu yang erat hubungannya dengan inisiasi
kehidupan manusia seperti misalnya kelahiran, menginjak dewasa , perkawinan dan
kehamilan
4. Terhadap orang-orang yang mati, dikalangan
primitif orang-orang mati sering diperlakukan sebagai musuh yang roh-rohnya
mungkin akan menuntut balas ketidakpuasan atas perlakuan orang-orang yang hidup
bersamanya sebelum dia mati.
5. Terhadap makanan tertentu, dalam hal ini kita
harus mengingat kembali bahwa dalam kekerbatan Totem terdapat pantangan memakan
binatang yang di Totemkan.
Menurut Freud (2002) objek-objek dari Tabu dan Totem
terdiri dari tiga bagian,
1.
Tabu dan Totem langsung yang dimaksudkan untuk melindungi
orang penting meliputi kepala suku, pendeta, dan barang-barang dari mara
bahaya, menjaga kaum yang lemah yaitu perempuan dan anak-anak dari mana
(pengaruh magis) yang kuat, melindungi diri dari bahaya yang muncul akibat memakan
makanan tertentu, mengamankan manusia dari murka atau kuasa dewa-dewa dan
roh–roh, mengamankan bayi yang belum lahir dan anak kecil yang memiliki
hubungan emosi yang khusus dengan orang tuanya dari akibat tindakan-tindakan
tertentu, dan yang lebih penting pengaruh-pengaruh makanan.
2.
Objek yang kedua, yaitu Tabu atau Totem yang diberlakukan
untuk melindungi kekayaan, alat–alat, dll, milik seseorang dari curian.
3.
Objek yang ketiga,
Tabu atau Totem yang umum
diberlakukan di suatu wilayah yang luas, sama dengan larangan gerejawi
dan bisa berlaku lama.
Menurut Freud (2002) terdapat
beberapa cakupan dari pemali, yaitu sifat suci (atau kotor) dari orang atau
benda, jenis larangan yang diakibatkan oleh sifat tersebut, dan kesucian (atau
kekotoran) yang diakibatkan
oleh pelanggaran terhadap larangan tersebut.
D. Aspek Sosial
dalam Totem dan Tabu
Aspek atau
dimensi sosial dari Totem dan Tabu nampak pada sikap-sikap tertentu terhadap
kekerabatan darah dan juga aturan-aturan perkawinan dan keturunan. Kita perlu
mengingat bahwa Totemisme mempunyai pengertian suatu bentuk masyarakat yang
dibedakan oleh ciri-ciri tertentu sebagai berikut:[16]
1. Masyarakat tersusun dari clan-clan atau ikatan
manusia yang dipersatukan oleh kekerabatan sekalipun seringkali meluas diluar
batas-batas suku yang bersifat lokal.
2. Clan tersebut dibedakan dengan bermacam-macam
nama binatang, tumbuh-tumbuhan atau fenomena alam lain seperti matahari, hujan,
petir bintang.
3. Macam-macam objek yang diberinama tersebut
erat sekali hubungannya dengan clannya. Tiap-tiap sesyatu yang erat hubungannya
dengan objek baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun fenomena alam lain tadi
dianggap termasuk dalam clan tersebut.
4. Biasanya, masing-masing objek tersebut
merupakan objek emosi keagamaan yang masing-masingnya merupakan subjek Tabu
atau karangan tertentu.
Lebih jauh lagi, anggota-anggota clan diberi hak dan memang berhak untuk
saling mempertahankan, saling melindungi, dan ada ketentuan tidak diperkenankan
untuk kawin dan melakukan hubungan seksual dalam satu clan yang sama, seperti
atuaran yang ada pada dasar kekerabatan.
Selain itu Totemisme memberi pengertian bahwa hubunga satu suku dengan suku
lainnya seluruhnya didasarkan pada Totemisme. Maka masuknya suatu kelompok
tertentu kedalam suatu Totem berarti pergantian kekerabatan sedarah atau
kekerabatan ras.
Dalam kepercayaan primitif animis dapat kita lihat adanya aspek sosial
dalam masalah perkawinan. Dalam hal ini harus kita ingat bahwa dapat dikatakan
dimana totemisme sangat menonjol, pasti ada aturan dan ketentuan bahwa
anggot-anggota totem yang sama tidak diperbolehkan dan dilarang saling
melakukan hubungan seksual dengan yang lain; artinya mereka tidak diperbolehkan
melakukan hubungan perkawinan. Ini menunjukan bahwa eksogami ada kaitannya
dengan totem. Hal ini dapat diinterprestasikan bahwa:
1. Pelanggaran terhadap larangan tadi bukannya
merupakan suatu hukuman seketika, akan tetapi lebih merupakan tuntunan bela
oleh seluruh suku karena akan timbunya suatu petaka dan bencana yang mengancam
masyarakat totem tersebut. Pelanggaran terhadap tabu ini hubungan seksual
dimaksud dikenakan hubungan mati. Pada suatu masyarakat totem terdapat
kebiasaan bahwa seorang wanita dari kelompok totem yang sama, pada mulanya
tawanan perang yang berasal dari suku lain, maka orang dari sulu yang salah
memperlakukan wanita tadi sebagai istrinya dan wanita itu sama-sama di bunuh
oleh suku tersebut.
2. Hukuman yang sama juga diterapkan dan
diperlakukan terhadap orang-orang yang terlibat dalam percaturan percintaan
yang tidak membuah kan kelahiran anak.
3. Totem merupakan ikatan nasab keturunan dan
tidak berubah oleh perkawinan, maka sebaliknya terasa bahwa garis dari pihak
itu lebih menonjol. Misalnya, kalau seseorang termasuk dalam suatu clan
bertotem kangguru kawin dengan wanita yang betotem emu, maka anak-anak baik
laki-laki maupun perempuan semua bertotem emu.
4. Dapat mengetahui dan mengerti bahwa peranan
binatang totem sebagai nenek moyang atau sebagai leluhur sangat ditekankan.
Semua keturunan dari totem yang sama adalah bertalian keluarga dan bertalian
darah artinya suatu keluarga.
E. Aspek Ritual
dalam Totem dan Tabu
Aspek ritual
dalam Totem dan Tabu ini nampak dalam adanya larangan dan sanksi melakukan
sesuatu yang telah diterapkan oleh masyarakat Totem dimana pelanggaran terhadap
ketetapan dan ketentuan ini akan membawa akibat yang merugikan, baik bagi yang
bersangkutan itu sendiri maupun bagi masyarakat seluruhnya.
Pelanggaran-pelanggaran ini akan berkurang sanksi hukumannya atau akan terhapus
jika dilakukan upacara-upacara sebagimana mestinya.
F. Penyebaran Totem
dan Tabu
Di Amerika
Utara, Totem dan Tabu tersebar luas di barat laut dataran-dataran, disebelah
timur dihutan kayu-kayu, disebelah tenggara dan baratdaya, dan di beberapa suku
di California. Totem dan Tabu juga banyak ditemukan pada beberapa suku Indian
Mexico. Yang sangat merata adalah di Amerika Selatan.
Di Afrika,
banyak terdapat dikawasan teritorial yang luas antara Sahara dan Padangpasir
Kalahari. Di Madagaskar Totem dan Tabu tersebar pada beberapa suku saja
Di India hampir
lebih dari separuh suku-suku primitif animis berkepercayaan Totemis dan Tabu
terdapat hampir diseluruh masyarakat.
Di Australia, Totem
dan Tabu merata, hanya sedikit saja suku-suku yang tidak berkepercayaan tetemis
seperti misalnya di daerah-daerah pantai, di Australia sebelah Timur, sebelah
Selatan dan sedikit di sebelah Barat.
Dipolynesia,
sangat merata dan bahkan hampir semua suku terdapat kepercayaan Totem.
Di Indonesia
sendiri, Tabu sangat merata dikalangan suku-suku primitif animis di Kalimantan,
Sulawesi, Irian dan Jawa. Di Pulau Seram terdapat upacara memasuki perserikatan
kakean, yaitu perserikatan para lelaki di tiga sungai yaitu Tala, Eti, dan
Sopalawa. Sekembali mereka mengikuti upacara tersebut, mereka dalam keadaan Tabu.
Kepala mereka tidak boleh dijamah oleh siapapun dan rambutnya harus dibiarkan
saja, tidak boleh disisir apalagi digunting. Pelanggaran terhadap ini akan
membawa petaka bagi manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan totem dan tabu ini, maka dari
itu penulis menyimpulkan bahwa :
1. Totem adalah ikatan ritual suatu kelompok,
kekeluargaan dan kekerabatan yang menggunakan binatang, tumbuhan atau benda
alam yang berfungsi sebagai lambang klan atau keluarga diantara suku
tradisional, sedangkan Tabu adalah
larangan sosial yang kuat, yang berkaitan dengan setiap area kegiatan manusia
atau kebiasaan sosial ditetapkan karena orang percaya bahwa ketidaksesuaian
akan mendatangkan konsekuensi yang berbahaya
bagi mereka, dimana pengembangannya dilakukan oleh masyarakat untuk para
anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan sebagai motivasi
untuk meningkatkan tradisi.
2. Totem dibagi menjadi dua yaitu totem
perorangan dan totem golongan, sedangkan tabu dibagi menjadi tiga yaitu
natural, tidak alami dan penengah.
3. Objek totem dan tabu yaitu segala aspek
kehidupan dari masyarakat penganut totem dan tabu yang dianggap memiliki
kekhususannya.
4. Aspek atau dimensi sosial dari Totem dan Tabu terdapat
pada sikap-sikap tertentu terhadap kekerabatan darah dan juga aturan-aturan perkawinan
dan keturunan.
5. Aspek ritual dalam Totem dan Tabu ada dalam
larangan dan sanksi melakukan sesuatu yang telah diterapkan oleh masyarakat Totem
dimana pelanggaran terhadap ketetapan dan ketentuan ini akan membawa akibat
yang merugikan, baik bagi yang bersangkutan itu sendiri maupun bagi masyarakat
seluruhnya.
B. Saran
Dari permasalahan Totem
dan Tabu ini penulis berpandapat alangkah lebih baik jika ingin mempelajari lebih lanjut dari buku-buku referensi
yang lebih kompeten atau melalui sumber-sumber yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Freud, S.(2002). Totem and
Tabu. Yogyakarta : Jendela.
Evans, W. R., Averi, G. P., & Pederson, V. P. (1999).
Taboo topics: Cultural restraint on teaching
social issue. The
social Studies, 90,
5. Diakses 17 April 2017 dari
http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=9e3b00b0-1140-4925-86f80e9d2d8e80d0%40sessionmgr111&vid=0&hid=112&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=2215244
Zakiyah Drajat dkk. 1983. Perbandingan
Agama 1, (Jakarta: Cv. Yulina,
Pongsilurang Sartika. Pemahaman dan
Penggunaan Pamali oleh Masyarakat Toraja dalam Kaitannya dengan Perilaku
Kesehatan dalam Jurnal Fakultas Psikologi. Salatiga: UKSW Salatiga
Benjami e. Zeller, Totem and taboo in the grocery
store dalam jurnal dalam terjemah jurnal Quasi-religious foodways. North
America.
Clemence, Makamure dan Chimininge, Vengesai.
2015. Totem, Taboos and sacred places: An analysis of Karanga people’s environmental conservation and management
practices dalam
International Journal of Humanities and Social Science Invention, Volume 4
Issue 11. www.ijhssi.org.
Sukardji K. 1993. Agama-agama Yang Berkembang
di Dunia dan Pemeluknya. Bandung: Angkasa.
[1]Zakiyah Drajat dkk, Perbandingan Agama 1, (Jakarta: Cv. Yulina,
1983). hlm. 51
[2]Zakiyah Drajat dkk, Perbandingan Agama 1... hlm. 51
[3]Makamure Clemence dan Vengesai Chimininge, Totem, Taboos and sacred
places: An analysis of Karanga people’s environmental conservation and
management practices dalam International Journal of Humanities and
Social Science Invention, Volume 4 Issue 11 , (www.ijhssi.org,
2015). hlm. 8
[4]Zakiyah Drajat dkk, Perbandingan Agama 1... hlm. 52
[5]Sartika Pongsilurang, Pemahaman dan Penggunaan Pamali oleh Masyarakat
Toraja dalam Kaitannya dengan Perilaku Kesehatan dalam Jurnal Fakultas
Psikologi , (Salatiga: UKSW Salatiga), hlm. 3
[6]Benjami e. Zeller, Totem and
taboo in the grocery store dalam jurnal dalam terjemah jurnal Quasi-religious
foodways, (North America), hlm. 18
[7]K, Sukrdji, Agama-agama Yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya,
(Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 86.
[8]Sartika Pongsilurang, Pemahaman dan Penggunaan Pamali oleh Masyarakat
Toraja dalam Kaitannya dengan Perilaku Kesehatan dalam Jurnal Fakultas
Psikologi... hlm. 3
[9]Sartika Pongsilurang, Pemahaman dan Penggunaan Pamali oleh Masyarakat
Toraja dalam Kaitannya dengan Perilaku Kesehatan dalam Jurnal Fakultas
Psikologi... hlm. 4
[10]Sartika Pongsilurang, Pemahaman dan Penggunaan Pamali oleh Masyarakat
Toraja dalam Kaitannya dengan Perilaku Kesehatan dalam Jurnal Fakultas
Psikologi... hlm. 4
[11]Zakiyah Drajat dkk, Perbandingan Agama 1... hlm. 52
[12]Zakiyah Drajat dkk, Perbandingan Agama 1... hlm. 53
[13]Menurut A van Gennep mana merupakan kekuatan supra alami yang erat sekali
hubungannya dengan dinamisme.
[14]Zakiyah Drajat dkk, Perbandingan Agama 1... hlm. 53
[16]Zakiyah Drajat dkk, Perbandingan Agama 1...hlm. 57
Komentar